Alhamdulillah, puji beserta syukur marilah kita panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah memberikan beribu-ribu nikmat.
Tidak lupa solawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, beserta sahabat. Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya dan mendapat petunjuk hingga hari kiamat nanti.
Sebagaimana yang telah berlalu, sempat kita membahas terkait artikel definisi dan makna bersuci. Maka pada kesempatan ini, kami akan memaparkan artikel lanjutannya yang masih berkaitan dengan tema bejana.
Bab 2 : bejana
Sebelum kita memasuki inti dari pembahasan kita, pertama-tama kita harus mengetahui apa itu bejana dan bagaimana ciri-ciri dari bejana tersebut. Bejana adalah adalah sebuah wadah untuk menyimpan/menampung air dan lainnya, baik itu terbuat dari besi, plastik, kaca atau selainnya. Hukum asalnya boleh menggunakan bejana, berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:
هُوَ الَّذِیْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِی الْاَرْضِ جَمِیْعًاۗ
"Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala yang ada di bumi." (QS. Al-Baqarah: 29)
Pada bab ini terbagi menjadi 4 bagian,yaitu:
Bagian pertama: Apakah boleh menggunakan bejana emas dan perak dan selainnya dalam bersuci?
Sebenarnya, menggunakan bejana untuk makan, minum, dan lain-lain hukumnya boleh, jika bejana yang digunakan itu suci, meskipun harga bejana tersebut mahal karena hukum asalnya adalah mubah (boleh), terkecuali bejana yang terbuat dari emas dan perak karena hukum menggunakan keduanya dalam makan dan minum adalah haram. Adapun selain makan dan minum boleh saja menggunakannya, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلاَ تَأْكُلُوْا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِيْ الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِيْ الْآخِرَةِ
"Janganlah kalian minum dari bejana/wadah terbuat dari emas dan perak, dan janganlah kalian makan dalam wadah (yang terbuat dari emas dan perak), karena sesungguhnya ia untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan untuk kalian (orang mukmin) di akhirat." (HR. Bukhari Muslim)
Dan juga sabda beliau yang lain:
اَلَّذِيْ يَشْرَبُ فِيْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ نَار جَهَنَّم
"Yang minum di bejana perak sesungguhnya dia menggelagakkan api jahanam di dalam perutnya." (HR. Bukhari Muslim)
Maka kita dapat mengetahui bahwa ini adalah nash (dalil) yang mengharamkan pengunaan bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk dipakai makan dan minum.
Adapun untuk digunakan untuk selain hukumnya boleh, dan juga boleh digunakan untuk ber-thaharah/bersuci.
Larangan tersebut secara umum mencakup seluruh bejana yang terbuat dari:
1. Emas murni
2. Emas yang dipoles
3. Atau bejana yang terbuat dari emas walaupun sedikit
Bagian kedua: Hukum menggunakan bejana yang ditambal emas atau perak
Bila tambalan bejana tersebut terbuat dari emas maka hukumnya haram untuk menggunakannya, karena ia menyangkut pada keumuman dalil tadi. Adapun kalau bejana tersebut tertambal oleh perak yang sedikit, maka boleh menggunakannya berdasarkan sebuah hadits dari sahabat yang mulia yakni anas radhiyallahu anhu, dia berkata:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَنْ يُشْرَبَ فِي آنِيَةٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، وَقَالَ: "لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةٍ مِنْهُ وَلا تَأْكُلُوا فِيهِ" وَمَعَ ذَٰلِكَ لَمْ يَكُنْ يَنْهَى عَنْ أَنْ يُسْتَعْمَلَ فِي آيَانٍ فِيهِ قَلِيلٌ مِنْ فِضَّةٍ، مَا لَمْ يَكُنْ كُلُّ الإِنَاءِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.»
(رَوَاهُ الْبُخَارِيُ وَمُسْلِمٌ)
Artinya:
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Rasulullah ﷺ melarang menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian minum dari bejana itu, dan janganlah kalian makan dengan bejana itu.’ Akan tetapi, beliau tidak melarang menggunakan bejana yang memiliki sedikit perak (tambalan), selama itu bukan seluruh bejananya terbuat dari emas atau perak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagian ketiga: Hukum menggunakan bejana orang kafir
Hukum asal menggunakan bejana orang-orang kafir adalah halal, kecuali kita mengetahui najisnya. Jika dalam keadaan tersebut maka tidak boleh digunakan, kecuali kita sudah mencucinya. Sebagaimana hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallahu anhu:
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: – قُلْتُ: يَا رَسُولَ الْلَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: “لَا تَأْكُلُوا فِيهَا، إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا” – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyaniyy radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya, wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah Ahlul Kitab, bolehkah kami makan dengan wadah (bejana) mereka?” Beliau menjawab, “Janganlah engkau makan dengan wadah mereka kecuali jika engkau tidak mendapatkan yang lain. Oleh karena itu, bersihkanlah dahulu dan makanlah dengan bejana tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 5478, 5488, 4596; dan Muslim, no. 1930]
Jika najis tidak diketahui, yaitu jika pemilik bejana tersebut tidak diketahui selalu berkontak langsung dengan najis, maka boleh menggunakannya tanpa mencucinya terlebih dahulu. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya pernah mengambil air wudhu dari bejana seorang wanita musyrik,
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أنَّ النَّبِيَّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوْا مِنْ مَزَادَةِ إِمْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ. تفق عليه. في حديث طويل
Dari Imran bin Husain Radhiyallahu ‘anhu,” Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu’ bersama dengan para sahabatnya dari tempat air kepunyaan seorang wanita musyrik.” (Muttafaq ‘alaihi, potongan dari hadits yang panjang).
Bagian keempat: Thaharah dengan bejana yang terbuat dari kulit bangkai
Jika kulit bangkai yang ingin digunakan sudah disamak maka hukumnya boleh, sebagaimana sabda Rasulullah alaihisshalatu wassalam:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: "إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ"
Artinya:
"Jika kulit telah disamak, maka ia menjadi suci."(H.R Tirmidzi no 1650)
Akan tetapi, hal ini berlaku jika bangkai tersebut berasal dari hewan yang disembelih dengan cara halal. Bila tidak demikian, maka tidak halal dengan cara disamak saja. Adapun bulunya, maka ia suci
yang dimaksud adalah bulu bangkai hewan yang halal dimakan sebelum menjadi bangkai. Adapun
dagingnya, maka ia najis dan haram dimakan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
قُل لَّاۤ اَجِدُ فِىۡ مَاۤ اُوۡحِىَ اِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطۡعَمُه اِلَّاۤ اَنۡ يَّكُوۡنَ مَيۡتَةً اَوۡ دَمًا مَّسۡفُوۡحًا اَوۡ لَحۡمَ خِنۡزِيۡرٍ فَاِنَّه رِجۡسٌ اَوۡ فِسۡقًا اُهِلَّ لِغَيۡرِ اللّٰهِ بِه فَمَنِ اضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
Katakanlah, "Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al an’am: 145)
Tujuan penyamakan dilakukan adalah untuk membersihkan penyakit-penyakit dan kotoran yang terdapat pada kulit hewan tersebut. Cara adalah dengan menggunakan bahna yang dicampur dengan air seperti garam dan sejenisnya atau dedaunan seperti daun akasia, daun al ar’ar (mirip dengan pinus), dan semisalnya.
Adapun hewan sembelihan yang tidak membuatnya halal, maka ia tidak suci. Berdasarkan kalimat ini, maka kulit kucing dan hewan-hewan yang lebih kecil darinya tidak suci untuk disamak, walaupun ia suci pada saat masih hidup.
Adapun kulit hewan yang haram dimakan, sekalipun ia suci saat masih hidup, maka ia tidak suci saat disamak.
Secara ringkas, hewan apapun yang mati sedangkan dagingnya termasuk hewan yang halal dimakan, maka kulitnya dapat disucikan dengan disamak, begitupun sebaliknya.
Dari bab kali ini kita dapat mengambil banyak pelajaran, walaupun berkaitan dengan sesuatu yang disepelehkan, tapi ilmu ini sangat bermanfaat untuk kita semua. Terkhusus bagi kaum muslimin yang tersebar di penjuru dunia ini. Dan jangan lupa untuk mengamalkan ilmu yang kita dapatkan karena ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disertakan dengan amalan. Ingatlah perkataan imam syafi’i:
“Tujuan dari sebuah ilmu itu adalah untuk mengamalkannya, maka ilmu yang hakiki adalah ilmu yang terefleksikan dalam kehidupannya, bukan ilmu yang hanya bertengger di kepala.”
Semoga allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran yang dapat menambah kualitas amal ibadah dan wawasan keislaman kita, dan semoga ilmu yang kami sampaikan pada artikel kali ini dapat berguna bagi kita dan seluruh umat manusia.
والله أعلم بالصواب
Sumber: Fikih Muyassar