Definisi dan Hukum Bersuci

Segala puji bagi Allah yang masih memberikan kita nikmat iman, islam, serta kefakihan dalam memahami agama ini. Serta shalawat tetap tercurahkan kepada baginda nabi Allah, Muhammad shalallalahu alaihi wa sallam. Beserta keluarga beliau, sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikutinya hingga akhir zaman.
Urgensi Thaharah
Thaharah (bersuci) merupakan kunci sholat yang sangat ditekankan (yakni thaharah harus didahulukan sebelum sholat, pen). Maka dari itu kita sebagai kaum muslimin harus melakukan thaharah sebelum sholat agar sholat kita diterima. Sebagaimana sabda Rasulullah n,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seorang hamba yang berhadats (tidak bersuci) sampai dia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 530)
Sebagian kaum muslimin mempertanyakan apa perbedaan hadats besar dan hadats kecil serta apa yang harus dilakukan jika terkena? Apa saja air yang dipakai untuk bersuci dan apakah air yang suci bisa hilang kesuciannya? Dan apakah air yang telah dipakai manusia dan hewan masih bisa digunakan atau harus mencari air yang lain? Semua itu akan dijelaskan pada pembahasan bawah ini.
Makna Thaharah
Thaharah secara bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran, berasal dari bahasa arab yaitu kata (النظافة) yang artinya adalah kebersihan. Dan secara istilah adalah mengangkat hadats dan menghilangkan najis. Hadats terbagi menjadi 2 yaitu hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil adalah sesuatu yang mewajibkan bagi para pelaku yang terkena untuk berwudhu. Sedangkan hadats besar adalah sesuatu yang mewajibkan bagi para pelakunya untuk mandi.
Macam-macam Thaharah
Air yang digunakan untuk bersuci ada 7, yaitu: air laut, air embun, air salju, air sumur, air sungai, air hujan, dan mata air. Dan contoh air yang tidak suci adalah air yang berubah baunya, rasanya, dan warnanya. Namun jika airnya banyak atau lebih 2 qullah dan tidak berubah salah satu sifatnya maka air itu tetap suci. Adapun dalilnya adalah dari hadits Ibnu Umar s bahwa Rasulullah n bersabda,
إِذَا بَلَغَ المَآءُ القَلَّتَينِ لَم يَحمِلِ الخَبَثَ
"Apabila air mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis." (HR. Ahmad 2/27, Abu Dawud no. 63, At-Tirmidzi no. 67 dan An-Nasa'i no. 52, dan Ibnu Majah no. 517)
Adapun air yang tercampur dengan benda suci seperti daun-daun pohon,sabun,dan benda-benda lainnya itu tetap suci, karena tidak terdominasi oleh benda yang tercampur yang menyebabkan kesuciannya hilang. Dalilnya adalah firman Allah n ,
{ ...وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا }
"Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kalian menyentuh wanita, kemudian kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci, dan usaplah wajah kalian dan tangan kalian." (QS. An-Nisa`: 43)
Lafaz/kata مَآء dalam ayat di atas adalah nakirah (bermakna umum) dalam konteks kalimat negatif, maka bermakna semua air, tidak ada beda (sama saja) apalah itu air murni atau air yang telah tercampuri (dengan sesuatu yang suci).
Hukum air yang telah digunakan atau air musta’mal -seperti air yang jatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi tetap suci dan mensucikan menurut pendapat yang shahih, dapat menghilangkan najis dan dapat menghilangkan hadats selama tidak berubah sifat salah satu air yang suci: bau, rasa , dan warnanya. Dalil kesuciannya adalah "Bahwa Nabi n apabila berwudhu maka para sahabat hampir bertikai (karena memperebutkan bekas) air wudhu beliau." (HR. Bukhari, no.189). Andaikata air musta'mal itu najis, niscaya beliau tidak memperbolehkan melakukan hal itu. Hukum air sisa manusia itu suci karena manusia adlah makhluk suci,maka sisa makanannya juga suci, sama saja apakah dia seorang muslim atau kafir, demikian juga orang junub dan wanita yang sedang haid. Sungguh telah diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah n bersabda,
(( المُؤمِن لَا يَنجُس ))
"Orang Mukmin itu tidak najis." (HR. Muslim, no. 371)
Para ulama telah sepakat atas sucinya air sisa minuman hewan yang dagingnya halal dimakan, baik hewan ternak atau lainnya.
Hewan yang dagingnya tidak halal dimakan, seperti binatang buas, keledai, dan semisalnya maka pendapat yang shahih bahwa sisanya juga suci, tidak berpengaruh terhadap air, khususnya jika airnya banyak.
Air yang suci bisa hilang kesuciannya jika airnya sedikit dan berubah karena telah diminum oleh hewan tersebut, maka ia najis. Dalilnya, adalah hadits di atas, ketika Nabi n ditanya tentang air (kolam) yang sering didatangi berulang-ulang oleh hewan-hewan dan binatang buas, maka beliau bersabda,
إِذَا بَلَغَ المَآءُ القَلَّتَينِ لَم يَحمِلِ الخَبَثَ
"Jika air mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis."
Akan tetapi babi tidak berlaku karena ia najis, buruk, dan kotor.
Allah ta'ala berfirman,
فَإِنَّهُ رِجْسٌ
"Maka sesungguhnya ia (babi) itu kotor." (QS. Al-An'am: 145)
Inilah ringkasan jawaban atas pertanyaan yang ada diatas, semoga semua pertannyaan yang pernah terpintas di otak kita terjawab semua di artikel kami dan juga dengan ilmu dibahas dapat membuat ibadah kita lebih sempurna.
وَالله أَعلَم بِالصَوَاب
Sumber: Fikih Muyassar